Opini

Teknisi Hebat Bukan Berarti Boleh Sombong – Renungan Bagi Praktisi Lapangan di Dunia Teknik

Tanpa gelar bukan berarti tanpa etika

Ade Apristiawan23 April 2025

Di tengah dentuman mesin, suara relay yang berbunyi klik dengan ritme presisi, dan hawa panas dari panel listrik yang terus bekerja tanpa henti, ada sosok-sosok yang jarang disebut, namun sangat penting yaitu para teknisi. Mereka adalah tulang punggung di lapangan, garda terdepan dari setiap keberhasilan sistem kelistrikan dan otomasi yang berjalan tanpa hambatan. Namun, di tengah segala peran vital itu, ada satu persoalan mendasar yang muncul dari balik bangga yang berlebihan: kesombongan.

Kesombongan ini bukan hanya soal kepercayaan diri tinggi, tetapi sudah melangkah lebih jauh ke wilayah yang mengganggu ekosistem kerja: merasa paling tahu, paling berpengalaman, dan tak perlu masukan dari siapa pun. Dalam dunia teknik, di mana presisi, kerja sama, dan pembelajaran berkelanjutan sangat diperlukan, sikap seperti ini bisa menjadi racun.

1. Hebat di Lapangan Bukan Alasan Meremehkan Orang Lain

Pengalaman lapangan tentu sebuah aset yang tidak bisa direndahkan. Seorang teknisi yang sudah terbiasa dengan karakteristik suara motor, tahu bagaimana mengidentifikasi kerusakan bearing hanya dari getaran, atau bisa memperbaiki sistem tanpa harus melihat wiring diagram—itu semua adalah kemampuan luar biasa. Tapi keahlian itu bukan tiket untuk menjadi arogan.

Dalam banyak proyek, teknisi senior sering kali menolak saran engineer muda hanya karena menganggap mereka belum cukup jam terbang. Padahal, di era teknologi yang berubah cepat, seorang engineer muda bisa saja punya wawasan baru tentang sistem berbasis IoT, konfigurasi PLC modern, atau efisiensi energi berbasis AI.

Contoh kasus nyata terjadi pada proyek instalasi sistem SCADA di pabrik pengolahan kelapa sawit. Teknisi senior menolak mengikuti rekomendasi dari engineer junior terkait segmentasi jaringan berbasis protokol Modbus TCP/IP. Ia bersikeras menggunakan metode konvensional karena merasa lebih familiar. Akibatnya, sistem komunikasi tidak stabil dan troubleshooting menjadi lebih lama dari yang seharusnya.

Pengalaman harus menjadi bekal untuk memimpin dengan teladan, bukan untuk membentengi diri dari pengetahuan baru. Semakin berpengalaman seorang teknisi, seharusnya semakin bijak pula dalam menyikapi dinamika kerja dan ilmu baru yang berkembang.

2. Pengalaman dan Pendidikan Adalah Dua Sayap

Ada sebuah mitos di kalangan praktisi teknik bahwa orang yang hanya belajar teori di kampus tidak akan bisa bekerja di lapangan. Sebaliknya, mereka yang hanya belajar dari pengalaman sering kali menyepelekan pentingnya perhitungan teknis, standar keselamatan, dan regulasi kelistrikan. Padahal, kenyataannya dunia teknik membutuhkan kedua unsur ini berjalan bersama: teori dan praktik, akademik dan aplikatif.

Salah satu ilustrasi terbaik adalah seperti pesawat. Agar pesawat terbang stabil, kedua sayapnya harus seimbang. Pengalaman adalah satu sayap yang memberi intuisi, keterampilan tangan, dan pemahaman medan kerja. Pendidikan adalah sayap lainnya yang memberi dasar teori, kemampuan membaca data, dan pendekatan sistematis. Jika salah satu patah, maka sistem akan jatuh.

Di lapangan, banyak teknisi lulusan SMK atau STM yang luar biasa trampil. Tapi ketika mereka bekerja sama dengan engineer lulusan S1 yang membawa standar perhitungan dari IEC, mereka akan jauh lebih kuat jika saling melengkapi daripada saling meremehkan.

Di proyek elektrifikasi sistem conveyor belt industri, engineer mendesain sistem proteksi overload berdasarkan data katalog motor dan beban. Teknisi lapangan memberi masukan bahwa suhu lingkungan tinggi menyebabkan arus start naik hingga 20% lebih besar dari nilai katalog. Hasilnya? Mereka menyesuaikan pengaturan relay dan sistem berjalan optimal tanpa trip yang tidak perlu.

3. Rendah Hati Itu Ciri Profesional

Seorang teknisi yang benar-benar profesional adalah mereka yang tahu batas kemampuannya dan tidak ragu bertanya ketika menemui tantangan baru. Mereka yang tidak menutup diri ketika ada junior yang punya solusi berbeda. Rendah hati tidak sama dengan rendah diri. Justru itu adalah kekuatan tersembunyi.

Henry Petrosky, seorang insinyur sipil terkemuka, pernah berkata, "To engineer is human" — merancang adalah tindakan manusiawi, dan setiap manusia bisa salah. Maka, teknisi yang profesional bukan yang tidak pernah salah, tetapi yang mau mengakui kesalahan dan belajar dari sana.

Dalam satu insiden, seorang teknisi listrik berpengalaman lupa memperhitungkan harmonik pada sistem dengan banyak inverter. Ia menginstal MCB standar yang kemudian trip berkali-kali. Seorang teknisi muda mengusulkan penggunaan MCB tipe C atau D, dan masalah selesai. Tidak ada yang lebih membanggakan daripada melihat teknisi senior berterima kasih dan mengakui masukan junior. Di situlah letak kekuatan profesionalisme sejati.

4. Teknologi Terus Bergerak, Ego Harus Mundur

Setiap hari teknologi berkembang. Dari PLC berbasis ladder diagram hingga yang berbasis structured text, dari sistem kontrol konvensional ke sistem berbasis IoT, dari panel manual hingga pemantauan berbasis web. Jika teknisi merasa tidak perlu belajar karena merasa sudah ahli, maka ia sedang menggali lubang keterbelakangan sendiri.

Generasi teknisi baru lahir dengan pemahaman digital yang lebih kuat. Mereka cepat menyerap perubahan dan terbiasa dengan antarmuka berbasis perangkat lunak. Namun sayangnya, banyak teknisi senior yang merasa gengsi bertanya atau mengikuti pelatihan karena takut dianggap tidak tahu.

Padahal kenyataannya, perusahaan yang maju adalah yang teknisinya terus belajar, baik senior maupun junior. Tidak ada istilah terlalu tua untuk belajar. Yang ada hanya terlalu sombong untuk mau belajar. Teknisi yang ingin bertahan dan tumbuh harus mulai membuka diri, mengikuti sertifikasi, belajar dari YouTube, membaca datasheet, dan berdiskusi lintas generasi.

5. Budaya Kolaboratif Lebih Kuat dari Kompetisi Ego

Di lapangan, banyak proyek gagal bukan karena kurangnya keahlian, tapi karena konflik antarteknisi. Ada yang tidak mau berbagi data pengaturan, ada yang sengaja menyembunyikan wiring karena takut disalip, ada yang merendahkan ide tim lain hanya karena bukan ide dirinya. Semua ini adalah racun dalam tim teknisi.

Budaya kolaboratif harus dimulai dari kesadaran bahwa sistem teknik adalah kerja tim. Dari tukang las, teknisi, engineer, hingga quality control, semua saling terkait. Satu kesombongan bisa membuat seluruh sistem gagal.

Teknisi yang hebat bukan yang bekerja sendiri seperti pahlawan, tapi yang mampu membangun sistem kerja kolaboratif, mencatat setiap temuan, mengarsipkan wiring diagram, membuat dokumentasi commissioning yang jelas, dan mendampingi junior untuk memahami sistem.

6. Belajar dan Berbagi

Tidak ada teknisi hebat yang muncul dalam semalam. Semua melalui proses panjang, dari salah sambung kabel, salah baca multimeter, sampai gagal memahami alarm sistem. Tapi yang membedakan adalah apakah teknisi tersebut belajar dari kesalahan dan mau berbagi dengan yang lain.

Teknisi yang sukses di masa depan adalah mereka yang tidak hanya pandai bekerja, tapi juga pandai mencatat, mendokumentasikan, membuat pelatihan internal, dan menjadi mentor bagi generasi berikutnya.

Setiap teknisi harus menjadikan dirinya sebagai sumber ilmu berjalan. Menjadi tempat bertanya bagi junior, menjadi partner diskusi bagi engineer, dan menjadi pelopor pembelajaran mandiri dalam timnya.

Menjadi Teknisi Hebat yang Rendah Hati dan Mau Tumbuh

Menjadi teknisi hebat itu bukan tentang gelar, bukan tentang pengalaman bertahun-tahun saja. Itu semua penting, tapi tidak cukup. Yang membuat teknisi benar-benar hebat adalah sikapnya: apakah ia rendah hati, mau belajar, mau bekerja sama, dan mau berbagi.

Kesombongan teknisi bukan hanya memperlambat perkembangan diri sendiri, tapi juga menghambat tim, merusak budaya belajar, dan membuat regenerasi menjadi macet. Padahal, di dunia teknik, ilmu selalu berkembang dan tantangan selalu berubah.

Mari kita bangun budaya teknisi yang kuat: bukan yang saling menjatuhkan, tapi yang saling mengangkat. Bukan yang saling pamer, tapi yang saling belajar. Karena pada akhirnya, listrik tidak peduli siapa yang menyambung kabel — yang penting, sistem berjalan aman, efisien, dan berkelanjutan.

"Science is about knowing; engineering is about doing. The more we understand, the better we build." 

Henry Petrosky
(Ilmu pengetahuan adalah tentang memahami; rekayasa adalah tentang melakukan. Semakin kita memahami, semakin baik kita membangun.)

Share:

0 Komentar

Artikel Terkait