Opini

7 Alasan Mengapa Pendidikan di Indonesia Hanya di “Situ-Situ Saja”

Berikut ini adalah 7 alasan mengapa pendidikan di Indonesia hanya di situ-situ saja. Salah satu alasannya adalah kurangnya investasi terhadap kualitas guru dan tenaga pengajar!

Andri Marza Akhda31 Agustus 2025

Baru-baru ini warganet dihebohkan dengan pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Dalam sebuah acara Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia (KSTI) yang digelar di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) Institut Teknologi Bandung (ITB) Kamis, 7 Agustus 2025 lalu. Ia melontarkan sebuah pernyataan seperti ini:

"Banyak di media sosial, saya selalu mengatakan, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya enggak besar. Ini juga salah satu tantangan bagi keuangan negara. Apakah semuanya harus dari keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat"

Pernyataan ini sontak mengundang banyak pro dan kontra. Menteri Sri Mulyani sendiri tidak menjelaskan secara eksplisit bentuk partisipasi masyarakat yang dimaksud dalam pernyataan upaya meningkatkan kesejahteraan para tenaga pendidik tersebut.

Di tengah kondisi politik Indonesia yang sedang tidak stabil, dan juga banyaknya anggaran pemerintah yang justru tidak dialokasikan untuk sektor penting seperti pendidikan, tentu pernyataan ini mengundang lebih banyak pandangan kontra. Apalagi sekarang beredar informasi bahwa anggota DPR mendapatkan banyak tunjangan kerja dari negara.

Tunjangan DPR Menurut Data dari Republika
Tunjangan Gaji DPR

Didapatkan dari sumber Republika, total tunjangan yang didapatkan oleh anggota DPR per bulan dapat mencapai angka Rp100 juta lebih. Padahal seperti yang kita ketahui, lembaga ini sering kali menjadi musuh bersama masyarakat dan cenderung lebih cepat menyetujui Rancangan Undang-Undang yang belum matang atau bahkan terkesan menguntungkan golongan tertentu.

Belum lagi gaji hakim, posisi strategis yang sering kali menentukan pemenang persidangan, naik 280%. Di tengah kebijakan efisiensi pemerintah, tentu saja biaya-biaya di atas lebih pantas untuk patut disebut sebagai tantangan. Situasi penuh dengan polemik ini tentu menjadikan kondisi pendidikan di Indonesia mengalami mandek atau dalam bahasa gaul keseharian MinTek, "Hanya di Situ-Situ Saja"

Selain kondisi politik yang tidak stabil, tentu ada banyak alasan mengapa pendidikan di Indonesia hanya di situ-situ saja. Di dalam artikel ini, MinTek akan menjelaskan tentang 7 alasan kuat mengapa pendidikan Indonesia hanya di situ-situ saja. Penasaran apa saja? Simak baik-baik artikel ini ya!

Disclaimer: Artikel ini memiliki pembahasan yang cukup panjang, kamu bisa menggunakan fitur bookmark untuk membacanya lanjut di kemudian hari.

1. Kurangnya Investasi Terhadap Kualitas Guru & Tenaga Pengajar

Alokasi Anggaran Pendidikan untuk Tahun Depan
Dominan untuk Makan

Alasan pertama adalah karena kurangnya investasi terhadap kualitas guru dan juga tenaga pengajar. Ya, hal ini dapat kita lihat dengan jelas melalui lambatnya kebijakan pemerintah yang benar-benar menyasar poin kenaikan gaji guru. Memang benar bahwa sempat ada berita yang mengatakan bahwa gaji guru naik 2 juta.

Banyak yang beranggapan bahwa gaji guru ini akan naik (ditambah 2 juta), jadi jika sebelumnya gaji guru adalah Rp2.6 juta per bulan, menjadi Rp4.6 juta per bulan. Ternyata, kenaikan yang dimaksud adalah kenaikan gaji guru honorer yang sebelum kebijakan berlaku adalah Rp1.5 juta menjadi Rp2 juta. Guru honorer yang berhak mendapatkan kenaikan ini pun haruslah lulus persyaratan tertentu seperti memiliki sertifikasi Pendidikan Profesi Guru.

Kesalahan informasi yang diterima oleh guru ini, tidak lain dan tidak bukan adalah karena kesalahan penyampaian informasi dari pemerintah itu sendiri. Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Mansur Sipinate mengatakan:

"Sebetulnya ada kesalahan informasi dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Presiden. Seolah-olah menyamakan kenaikan gaji dengan pemberian tunjangan sertifikasi"

Diterangkan olehnya, tambahan satu kali gaji untuk guru ASN (Aparatur Sipil Negara) yang dimaksud adalah penanggungan sertifikasi, yang sudah berlangsung sejak tahun 2008, era Pak SBY masih menjabat sebagai Presiden. Itu artinya butuh waktu 10 tahun untuk pemerintah menaikkan tunjangan sertifikasi kepada guru honorer yang lulus persyaratan sebesar Rp500.000.

Perlu diketahui bahwa gaji guru atau PNS (Pegawai Negeri Sipil) saat ini untuk golongan paling rendah yakni golongan Ia berkisar di angka Rp1.6 - Rp2.5 juta per bulan, dan untuk golongan paling tinggi yakni golongan IVe berkisar di angka Rp3.8 - Rp6.3 juta per bulan.

Angka ini masih kalah jauh bila kita coba bandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia apalagi Singapura. Di Malaysia, gaji awal guru bisa mencapai angka 2.500 hingga 4.000 ringgit, yang jika dirupiahkan menjadi Rp8.2 hingga Rp13 juta. Didapatkan dari SUN Education Group, rata-rata biaya hidup di negeri Jiran per bulan adalah 1.200 - 1.700 ringgit, atau sekitar Rp4.1 juta hingga Rp5.8 juta per bulan.

Guru di Singapura mendapatkan gaji 3.000 hingga 6.000 dollar per bulan atau sekitar Rp33 hingga Rp67 juta per bulan. Adapun biaya hidup per bulan di Singapura berdasarkan sumber yang sama, berkisar di angka 2.300 - 3.500 dollar atau sekitar Rp28 juta hingga Rp43 juta per bulan.

Pernyataan ini semakin kuat terasa setelah terdapat informasi dari Perupadata bahwa mayoritas anggaran pendidikan sebesar 757 triliun, 335 triliunnya atau hampir 40% digunakan untuk program MBG (Makan Bergizi Gratis) yang jelas bukan program memberdayakan.

2. Infrastruktur Pendidikan dan Teknologi yang Tidak Merata

Jalan Rusak di Daerah Air Molek-Peranap, Riau
Jalan Rusak di Daerah Air Molek-Peranap, Riau

Alasan kedua adalah tidak meratanya infrastruktur pendidikan dan teknologi. Ya, sudah bukan rahasia umum lagi bahwa masyarakat di pedesaan sering menjadi korban akibat tidak meratanya infrastruktur pendidikan dan teknologi ini. Data BPS per 2023, menunjukkan bahwa angka anak tidak sekolah berdasarkan jenjang pendidikan SD, SMP, SMA selalu didominasi oleh anak-anak dari pedesaan.

Kondisi ini dapat kita lihat dengan jelas melalui akses jalan untuk anak-anak pedesaan bisa bersekolah. Daripada terlalu fokus mengembangkan pendidikan dengan teknologi Artificial Intelligence, alangkah baiknya untuk pemerintah lebih fokus menyelesaikan masalah pemerataan pembangunan di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal)

Menyelesaikan masalah dasar juga dapat disebut sebagai visioner. Pemerintah harus lebih menggalakkan lagi pembangunan jalan nasional, provinsi, kabupaten/kota (salah satu sarana yang memudahkan masyarakat mengakses pendidikan di sekolah) ketimbang jalan tol yang notabene hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki mobil.

Ada banyak siswa yang terpaksa putus sekolah karena tidak memiliki akses jalan yang memadai. Selain pembangunan jalan, pemerintah perlu lebih banyak menjalankan program yang memudahkan masyarakat pedesaan untuk mengakses listrik terlebih internet. Sebenarnya,era pemerintahan Pak SBY dan juga Pak Jokowi sudah melakukan hal ini.

Salah satunya dapat kita lihat melalui proyek pembangunan BTS 4G di berbagai daerah 3T era Pak Jokowi. Sayangnya, Menteri Kominfo saat itu Johnny G Plate malah melakukan tindakan korupsi. Negara mengalami kerugian hingga Rp8 triliun lebih. Tentu saja tidak menutup kemungkinan bahwa ada kasus-kasus korupsi pembangunan 3T lainnya yang belum terendus.

3. Kurikulum Pendidikan yang Terlalu Sering Berubah-Ubah

Gonta Ganti Kurikulum
Gonta Ganti Kurikulum

Alasan berikutnya adalah karena kurikulum pendidikan di Indonesia yang terlalu sering berubah-ubah. Sejak merdeka di tahun 1945, Indonesia sudah berganti 12 model kurikulum. Rinciannya sebagai berikut:

  • Kurikulum Rencana Pelajaran (1947)
  • Kurikulum Rencana Pendidikan (1964)
  • Kurikulum Sekolah Dasar (1968)
  • Kurikulum PPSP (1973)
  • Kurikulum Sekolah Dasar (1975)
  • Kurikulum 1984
  • Kurikulum 1994
  • Kurikulum 1997
  • Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK (2004)
  • Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP (2006)
  • Kurikulum K-13 (2013)
  • Kurikulum Merdeka (2022)

Terkhusus kurikulum K-13, terdapat banyak revisi yakni K-13 revisi 2014, revisi 2017, dan terakhir revisi 2019. Pergantian kurikulum ini tentu saja memberikan dampak positif dan juga negatif bagi sistem pendidikan negara. Kita mulai membahas dampak positif pergantian kurikulum seperti:

  • Melengkapi kekurangan yang ada pada kurikulum sebelumnya.
  • Bagian dari penyesuaian dengan perubahan zaman.

Lalu untuk dampak negatifnya seperti ini:

  • Fokus waktu guru untuk beradaptasi memahami kurikulum baru menjadi lebih dominan.
  • Kurikulum baru terkadang memaksa tenaga pengajar untuk menggunakan fasilitas belajar mengajar yang relevan. Fasilitas belajar mengajar relevan inilah yang tidak dimiliki oleh semua sekolah.
  • Sosialisasi penerapan kurikulum baru memerlukan waktu yang tidak sebentar.

Pemerintah perlu merancang kurikulum pendidikan yang jauh lebih matang dan juga minim revisi. Pemerintah perlu merancang kurikulum pendidikan yang mampu memotivasi semangat belajar mengajar, baik dari guru, murid, maupun wali murid menjadi lebih baik.

4. Tantangan Geografis & Beragamnya Budaya Masyarakat

Berikutnya adalah besarnya tantangan geografis yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Tidak fair jika kita terus membandingkan kualitas pendidikan Indonesia dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura tanpa melihat kondisi geografis ketiga negara.

Malaysia adalah sebuah negara federal dengan luas 330.803 km persegi. Singapura dengan luas 735.7 km persegi. Berbanding jauh dengan Indonesia yang merupakan negara kepulauan seluas 1,9 juta km persegi. Wilayah geografis yang lebih besar dan juga dipisah oleh lautan luas, tentunya memberikan tantangan tersendiri untuk pemerintah dapat menerapkan sistem pendidikan yang merata.

Pemerintah perlu menyiapkan konsep daerah otonomi yang lebih matang agar kesan Jawa Sentris bisa perlahan memudar. Tidak hanya soal wilayah geografis, beragamnya budaya masyarakat di Indonesia juga menjadi tantangan tersendiri untuk pemerintah. Di banyak daerah misalnya, perempuan yang menempuh pendidikan tinggi akan dianggap sia-sia karena ujung-ujungnya hanya akan menjadi Ibu Rumah Tangga.

Lebih parah lagi, pemikiran kolot ini juga ditambah dengan pernyataan bahwa perempuan dengan status pendidikan tinggi, akan kesulitan mendapatkan jodoh. Ya, mau tidak mau kita harus mengakui bahwa pola pikir masyarakat kita masih jauh dari moderat dan lebih dekat dengan konsep primitif.

Persentase Kepemilikan Ijazah Perguruan Tinggi di Pedesaan
Persentase Kepemilikan Ijazah Perguruan Tinggi di Pedesaan

Meskipun demikian, fakta di lapangan sepertinya mengatakan bahwa stigma tersebut perlahan mulai memudar. Data dari BPS tahun 2024 mengatakan bahwa perempuan memiliki ijazah perguruan tinggi dari pedesaan lebih tinggi dibanding laki-laki.

5. Parenting yang Buruk

Ya, tidak bisa dipungkiri bahwa akar dari setiap permasalahan negara berawal dari bagus atau tidaknya rumah tangga yang dijalani oleh masyarakatnya. Rumah tangga yang buruk tentu saja dapat dilihat dari jeleknya model parenting yang dijalankan. Model parenting yang tidak mengajarkan pentingnya pendidikan, hanya akan terus mencetak anak-anak yang berorientasi pada nilai yang didapatkan, bukan budi pekerti yang didapatkan.

Model parenting yang hanya menekankan hukuman sebagai reaksi dari kesalahan yang dibuat oleh si anak, hanya akan melahirkan generasi yang malas berpikir dan minim simpati. Berkaitan erat dengan model parenting yang buruk adalah kurangnya kesadaran akan literasi keuangan yang baik.

Maraknya pernikahan dini juga menjadi salah satu sebab tidak langsung dari sistem pendidikan Indonesia yang hanya di situ-situ saja.

6. Korupsi Kolusi Nepotisme

Menjelang akhir, adalah masih maraknya kegiatan KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme). Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan akan ketiga kegiatan haram ini. Pemerintah tidak boleh hanya fokus pada tindakan pencegahan dan penanganan korupsi, dan mengabaikan kolusi dan nepotisme.

Ketiganya berjalan bersamaan dan harus dibasmi bersamaan pula. Tentu saja sebagai tindakan anti KKN juga harus dimiliki oleh tenaga pendidik langsung sebagai pelaksana akhir. Jangan sampai tenaga pendidik di sekolah atau instansi pendidikan malah mengakrabkan diri dengan kegiatan KKN ini.

Data SPI Pendidikan 2024 mengatakan bahwa dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sering kali mengalami penyelewengan. 17% sekolah masih melakukan pungutan liar, 40% terindikasi melakukan nepotisme pengadaan barang dan jasa, 47% diduga melakukan penggelembungan biaya. 42% sekolah bahkan melakukan pelanggaran seperti laporan fiktif dan manipulasi dokumen.

7. Tidak Amannya Lingkungan Belajar

Alasan terakhir mengapa sistem pendidikan di Indonesia hanya di situ-situ saja adalah karena tidak amannya lingkungan belajar. Kasus perundungan atau bullying masih menjadi PR besar untuk pemerintah dalam upaya menciptakan lingkungan belajar yang aman atau inklusif.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengungkapkan bahwa pada tahun lalu tercatat ada peningkatan tren kekerasan di lingkungan sekolah. Total ada 537 kasus tercatat pada data JPPI.

Masih kentalnya budaya senioritas antar murid jadi salah satu sebab mengapa perundungan kerap terjadi. Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI mengatakan bahwa sebab lain dari maraknya perundungan di lingkungan sekolah adalah karena kurangnya sosialisasi dan edukasi mengenai kekerasan, kekerasan seksual, dan perundungan.

Ia bahkan mengatakan:

"Satgas kekerasan di sekolah banyak yang dibentuk kemudian tidak tahu mau bagaimana. Bahkan kapasitas mereka untuk memahami kekerasan itu apa dan bagaimana itu juga mereka banyak yang tidak tahu"

Inilah 7 alasan mengapa pendidikan di Indonesia hanya di situ-situ saja. Semoga artikel ini bisa menjadi catatan penting bukan hanya untuk pemerintah, tetapi untuk kita bersama.

Share:

0 Komentar