Opini

Isu Kenaikan Gaji DPR RI Tahun 2025: Klarifikasi, Kontroversi, dan Tuntutan Transparansi

Bukan kenaikan gaji pokok, melainkan pengalihan fasilitas rumah jabatan menjadi tunjangan Rp50 juta per bulan yang menuai kritik publik.

human29 Agustus 2025

Isu mengenai kenaikan gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada tahun 2025 ramai menjadi perbincangan publik. Banyak media dan unggahan warganet menyebut penghasilan anggota dewan kini bisa mencapai Rp100 juta per bulan. Kabar ini sontak memicu pro-kontra, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang masih penuh tantangan. Namun, apakah benar gaji anggota DPR dinaikkan?

Bukan Kenaikan Gaji Pokok

Ketua DPR RI, Puan Maharani, menegaskan bahwa tidak ada kenaikan gaji pokok anggota DPR. Gaji pokok anggota DPR saat ini masih berada di kisaran Rp6,5 juta per bulan. Yang berubah hanyalah soal fasilitas rumah jabatan.

Sebelumnya, anggota DPR yang berasal dari luar Jakarta berhak menempati rumah jabatan di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Namun, sejak rumah jabatan tersebut dikembalikan ke negara, maka anggota DPR menerima kompensasi tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan.

Artinya, yang disebut “kenaikan gaji” sebenarnya adalah pengalihan bentuk fasilitas: dari rumah dinas menjadi uang tunjangan.

Mengapa Angka Rp100 Juta Muncul?

Angka Rp100 juta per bulan muncul karena masyarakat menghitung total penghasilan anggota DPR, bukan hanya gaji pokok. Selain gaji pokok Rp6,5 juta, seorang anggota DPR juga menerima berbagai tunjangan, antara lain:

  1. Tunjangan jabatan
  2. Tunjangan berass
  3. Tunjangan komunikasi
  4. Tunjangan transportasi dan BBM
  5. Biaya perjalanan dinas
  6. Serta tunjangan rumah yang kini nilainya Rp50 juta per bulan.

Jika semua komponen itu dijumlahkan, maka total penghasilan seorang anggota DPR bisa mendekati atau bahkan melebihi Rp100 juta per bulan.

 

Kritik Publik: Ironi di Tengah Efisiensi

Kebijakan ini langsung menuai kritik tajam dari masyarakat sipil. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut tunjangan Rp50 juta per bulan terlalu besar dan tidak mencerminkan kepekaan terhadap kondisi rakyat.

Sementara itu, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai kebijakan ini tidak diiringi dengan peningkatan kinerja legislasi. Mereka menekankan bahwa DPR seharusnya fokus memperbaiki kualitas regulasi, meningkatkan transparansi, dan mendengar aspirasi rakyat sebelum menambah fasilitas.

Kritik publik semakin keras karena kebijakan ini muncul di tengah pemerintah yang gencar mengampanyekan efisiensi anggaran. Banyak warganet membandingkan angka Rp50 juta per bulan itu dengan upah minimum buruh yang rata-rata hanya sekitar Rp3–4 juta.

Hak atau Kelebihan?

Di sisi lain, beberapa pimpinan DPR membela kebijakan tersebut. Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir, menegaskan bahwa tidak ada kenaikan gaji. Ia menilai kompensasi Rp50 juta adalah pengganti fasilitas rumah jabatan yang sebelumnya memang diberikan negara.

Menurutnya, tunjangan tersebut bukan bentuk kemewahan, melainkan bentuk penyesuaian agar anggota DPR tetap dapat tinggal layak di Jakarta tanpa fasilitas rumah dinas. Namun, pembelaan ini tetap sulit diterima sebagian publik, karena nominal Rp50 juta dianggap terlalu tinggi untuk biaya perumahan bulanan.

Transparansi Jadi Kunci

Kontroversi ini mengingatkan kembali pentingnya transparansi keuangan DPR. Publik berhak mengetahui rincian gaji dan tunjangan anggota dewan, mengingat semua berasal dari pajak rakyat.

Selain transparansi, akuntabilitas juga harus dijunjung tinggi. Jika DPR menerima kompensasi rumah sebesar Rp50 juta, maka publik berhak menagih kinerja yang sepadan: legislasi yang berkualitas, pengawasan yang tajam, dan representasi rakyat yang benar-benar terasa.

Tuntutan Publik

Dari perdebatan ini, setidaknya ada tiga tuntutan yang disuarakan publik:

  1. Keterbukaan Data, DPR harus membuka rincian resmi gaji dan tunjangan anggota dewan, termasuk tunjangan rumah yang baru diberlakukan.
  2. Evaluasi Besaran Tunjangan, Pemerintah dan DPR perlu meninjau kembali angka Rp50 juta per bulan, apakah memang sesuai kebutuhan atau berlebihan. 
  3. Peningkatan Kinerja, Fasilitas tinggi harus diimbangi dengan kinerja legislasi, pengawasan, dan penyerapan aspirasi masyarakat yang nyata

Kisruh soal kenaikan gaji DPR tahun 2025 menunjukkan betapa sensitifnya isu kesejahteraan pejabat publik di Indonesia. Meski faktanya bukan gaji pokok yang naik, melainkan tunjangan rumah, publik menilai jumlah Rp50 juta per bulan terlalu fantastis dibanding kondisi masyarakat banyak. 

Pada akhirnya, isu ini seharusnya menjadi momentum bagi DPR untuk membuktikan bahwa fasilitas yang diterima tidak sia-sia. Transparansi, akuntabilitas, dan kinerja nyata adalah kunci agar kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif kembali meningkat.

Share:

0 Komentar

Artikel Terkait