Awal Mula Aksi: Dari Ketidakadilan Ekonomi ke Gelombang Protes
Demo yang berlangsung pada Jumat, 29 Agustus 2025, bermula dari keresahan masyarakat mengenai tunjangan fantastis anggota DPR. Dalam situasi ekonomi yang masih sulit pasca pandemi dan melemahnya daya beli rakyat, kabar mengenai tunjangan rumah, tunjangan transportasi, serta fasilitas mewah bagi anggota legislatif memantik amarah publik.
Mahasiswa dari berbagai universitas berkumpul di depan Gedung DPR/MPR RI dengan membawa spanduk, poster, dan orasi yang menuntut keadilan. Bagi mereka, tunjangan jumbo DPR hanyalah simbol dari ketidakpekaan elit politik terhadap penderitaan rakyat. Aksi ini dengan cepat mendapat dukungan luas di media sosial, dengan tagar #ReformasiDikorupsi2.0 dan #PotongTunjanganDPR menjadi trending.
Eskalasi di Lapangan: Damai Berubah Ricuh
Pada awalnya, aksi berlangsung damai. Ribuan mahasiswa duduk di jalan, bernyanyi, berorasi, dan membacakan tuntutan mereka. Namun, situasi berubah tegang ketika barisan massa mulai mendorong barikade polisi. Aparat menembakkan gas air mata, water cannon, dan peluru karet untuk membubarkan massa.
Bentrok pun tak terhindarkan. Massa melempari aparat dengan botol, batu, bahkan membakar ban di sekitar gedung DPR. Kerusuhan merembet hingga ke kawasan Senayan dan Senen, di mana beberapa toko dilaporkan dijarah. Kereta MRT sempat dihentikan operasinya, halte TransJakarta dibakar, dan lalu lintas lumpuh total.
Kekerasan ini menelan korban: beberapa mahasiswa luka-luka, puluhan orang ditangkap, bahkan terdapat laporan seorang pengemudi ojek online hilang setelah dituduh sebagai provokator. Insiden ini mempertegas bahwa demo kali ini bukan sekadar protes biasa, melainkan titik letupan ketidakpuasan sosial yang sudah lama terpendam.
Dampak Sosial, Ekonomi, dan Politik
Kerusuhan tersebut segera menjadi sorotan nasional dan internasional. Investor khawatir terhadap stabilitas Indonesia, nilai tukar rupiah sempat melemah, dan publik mempertanyakan arah demokrasi.
Secara sosial, demo ini menunjukkan jurang kepercayaan yang semakin lebar antara rakyat dan wakilnya di parlemen. DPR dianggap semakin jauh dari rakyat, sibuk mengurus fasilitas mewah, sementara persoalan seperti pengangguran, mahalnya biaya pendidikan, dan akses kesehatan belum terpecahkan.
Secara politik, aksi ini menjadi alarm keras bagi pemerintah. Bukan hanya karena soal tunjangan, tetapi juga karena menguatnya kesadaran generasi muda untuk menuntut perubahan struktural. Mahasiswa menegaskan bahwa mereka tidak bisa lagi ditipu dengan janji reformasi setengah hati.
Respons Pemerintah: U-Turn yang Terpaksa
Dalam konferensi pers darurat, Presiden Prabowo Subianto akhirnya mengumumkan pembatalan kenaikan tunjangan DPR serta moratorium perjalanan luar negeri anggota parlemen. Ia menegaskan bahwa pemerintah mendengarkan aspirasi rakyat, namun juga mengecam tindakan anarkis yang merusak fasilitas publik.
Lebih jauh, Presiden menyebut adanya potensi infiltrasi kelompok provokator dalam aksi, bahkan menggolongkan sebagian perusuh sebagai “pengkhianat bangsa” dan “berpotensi teroris.” Pernyataan ini memicu kontroversi, karena di satu sisi membenarkan tindakan represif aparat, tapi di sisi lain dinilai bisa membungkam gerakan sipil yang murni ingin memperjuangkan demokrasi.
Tuntutan Mahasiswa: Bukan Hanya Soal Tunjangan
Meski pemerintah sudah mengumumkan pemangkasan tunjangan, mahasiswa menilai langkah itu hanya solusi kosmetik. Bagi mereka, persoalan utama ada pada akar sistem politik yang korup, oligarkis, dan jauh dari semangat reformasi 1998.
Dalam pernyataan sikapnya, aliansi mahasiswa menyampaikan 5 tuntutan utama:
-
Pembatalan seluruh tunjangan dan fasilitas DPR yang berlebihan.
-
Transparansi anggaran negara dan pemotongan pengeluaran untuk kepentingan elit.
-
Reformasi sistem pemilu agar lebih adil dan bebas dari politik uang.
-
Penegakan hukum terhadap korupsi tanpa pandang bulu, termasuk di kalangan legislatif.
-
Jaminan kebebasan akademik dan hak berpendapat mahasiswa tanpa kriminalisasi.
Reformasi Jilid Dua?
Banyak pengamat menyebut bahwa demo DPR kali ini adalah “Reformasi Jilid Dua.” Jika Reformasi 1998 lahir karena krisis ekonomi dan otoritarianisme, maka Reformasi 2025 muncul karena oligarki politik, kesenjangan ekonomi, dan korupsi yang tak kunjung selesai.
Generasi Z dan milenial yang memimpin aksi ini memiliki semangat baru: melek teknologi, kritis, dan berani. Mereka menggunakan media sosial sebagai senjata utama, menyebarkan informasi, koordinasi aksi, dan membangun solidaritas lintas kota.
Penutup: Harapan di Tengah Kekacauan
Demo DPR kemarin memperlihatkan wajah ganda demokrasi Indonesia. Di satu sisi, rakyat masih punya ruang untuk menyuarakan ketidakpuasan. Namun di sisi lain, represifitas aparat dan sikap defensif pemerintah menunjukkan bahwa jalan menuju demokrasi sejati masih panjang dan penuh tantangan.
Bagi mahasiswa, perjuangan belum selesai. Bagi pemerintah, ini adalah ujian: apakah akan benar-benar melakukan reformasi struktural, atau sekadar meredam gejolak dengan janji kosong.
Satu hal yang pasti: suara rakyat tak bisa lagi dibungkam, dan tuntutan keadilan akan terus bergema, sampai demokrasi benar-benar berpihak pada rakyat.
0 Komentar
Artikel Terkait
