Setiap tahun, pemandangan yang sama kembali terjadi. Hujan deras mengguyur kota, jalanan tergenang, sungai meluap, bahkan tak jarang banjir menenggelamkan rumah-rumah. Tapi ironisnya, di saat yang sama, kita masih mendengar keluhan: “Air ledeng mati terus”, “Sumur udah mulai kering”, “Air bersih makin susah dicari”.
Kok bisa?
Padahal, dari langit turun berjuta-juta liter air. Tapi kenapa kita tetap mengalami krisis air bersih? Ke mana perginya semua air hujan itu? Kenapa justru banjir dan kekeringan bisa terjadi dalam satu musim yang sama?
Ternyata, jawabannya bukan sekadar karena hujan terlalu deras. Tapi karena kita belum benar-benar siap mengelola air hujan dengan bijak.
Paradoks Air
Photo by Cia Gould on Unsplash
Fenomena ini disebut sebagai “paradoks air” di mana suatu wilayah punya curah hujan tinggi, tapi tetap kekurangan air bersih. Indonesia adalah salah satu contohnya.
Sebagai negara tropis, Indonesia rata-rata menerima lebih dari 2700 mm curah hujan per tahun. Tapi banyak daerah tetap mengalami kekeringan saat musim kemarau, bahkan kesulitan air bersih sepanjang tahun.
Contohnya, di Jakarta, banjir bisa terjadi hampir tiap bulan pada musim hujan. Tapi saat musim kemarau, daerah-daerah di pinggiran kota justru kesulitan mendapatkan air bersih. Hal yang sama juga terjadi di Surabaya, Makassar, bahkan di kota-kota pesisir yang dekat laut sekalipun.
Ini bukan soal jumlah air. Ini soal bagaimana kita memperlakukan air hujan.
Mengapa Air Hujan Tak Pernah Sampai ke Kita?
Photo by Osman Rana on Unsplash
1. Air Hujan yang Terbuang Begitu Saja
Sistem drainase di banyak kota besar kita dirancang untuk membuang air secepat mungkin ke sungai dan laut. Tujuannya memang untuk menghindari banjir. Tapi ini juga berarti bahwa kita tidak memberi kesempatan bagi air hujan untuk meresap dan disimpan.
Begitu turun, air hujan langsung “disapu” ke saluran dan hilang begitu saja. Padahal air itu bisa disimpan untuk keperluan nanti.
2. Tanah yang Tak Lagi Bisa Menyerap
Kota-kota besar kini didominasi beton, aspal, dan bangunan. Permukaan kedap air ini membuat air hujan tidak bisa meresap ke dalam tanah. Akibatnya:
- Debit air tanah tidak bertambah
- Potensi recharge sumur berkurang
- Air hujan malah jadi penyebab banjir
Betonisasi bukan cuma soal tampilan kota, tapi juga soal nasib sumber air bawah tanah kita.
3. Minimnya Infrastruktur Resapan
Kita kekurangan infrastruktur seperti:
- Sumur resapan
- Biopori
- Kolam retensi
Tanpa itu, air hujan tidak punya tempat untuk "menginap". Ia datang, lewat, lalu pergi.
Daerah Tangkapan Air yang Rusak
Photo by Hush Naidoo Jade Photography on Unsplash
Hulu sungai dan kawasan resapan air banyak yang rusak akibat:
- Alih fungsi lahan (hutan jadi perkebunan atau pemukiman)
- Pembalakan liar
- Tambang tanpa reklamasi
Tanpa hutan, air hujan langsung meluncur ke hilir tanpa sempat diserap. Sungai jadi mudah banjir saat hujan, tapi juga cepat kering saat kemarau.
Jadi, ketika kita bicara soal banjir dan kekeringan, hulu dan hilir harus dipikirkan bersamaan.
Efek Jangka Panjangnya?
Kita pikir banjir dan kekeringan cuma gangguan musiman. Tapi efek jangka panjangnya jauh lebih serius:
Air Tanah Menipis
Karena hujan tidak lagi meresap, cadangan air tanah berkurang. Ini bikin kita harus menggali lebih dalam untuk mendapatkan air.
Biaya Hidup Naik
Sumur dalam butuh biaya besar. Pompa air makin boros listrik. Air isi ulang makin mahal karena pasokan terbatas.
Intrusi Air Laut
Di kota pesisir, seperti Jakarta dan Semarang, penurunan air tanah menyebabkan air laut masuk ke daratan. Ini bikin air sumur jadi asin dan tak layak minum.
Solusinya: Jangan Buang Air Hujan!
Photo by RedTigerK on Unsplash
Masalah ini bukan tanpa solusi. Bahkan solusi-solusi itu sudah ada dan bisa dimulai dari rumah sendiri.
1. Panen Air Hujan
Gunakan talang air + penyaring sederhana + penampung air.
Bisa digunakan untuk:
- Siram tanaman
- Cuci kendaraan
- Air toilet
Dengan modifikasi penampupng air hujan, bahkan bisa disaring hingga layak minum.
2. Bangun Infrastruktur Hijau
Kota-kota perlu mulai membangun:
- Taman serapan air
- Permeable paving (ubin berpori)
- Kolam retensi di kompleks perumahan
Ini akan membantu meresapkan air hujan ke tanah, mengurangi banjir, dan mengisi ulang air tanah.
3. Lestarikan Hutan dan Daerah Tangkapan
Reboisasi, reklamasi tambang, dan perlindungan daerah aliran sungai sangat penting untuk menjaga siklus air tetap sehat.
Peran Kita Nggak Kalah Penting
Kita kadang berpikir urusan air itu tanggung jawab pemerintah. Tapi faktanya, perubahan besar dimulai dari tindakan kecil:
- Pakai air seperlunya, jangan berlebihan
- Edukasi tetangga soal panen air hujan
- Dukung kebijakan pengelolaan air yang berkelanjutan
Dan yang terpenting: jangan anggap air hujan itu musuh. Ia bukan sekadar penyebab banjir, tapi juga peluang untuk bertahan hidup.
Kita Butuh Revolusi Air
Kalau kita tetap membuang air hujan seperti sampah, kita akan terus hidup dalam siklus ironi: banjir di musim hujan, kekeringan di musim panas.
Tapi kalau kita mulai berubah, melihat air hujan sebagai berkah, bukan sebagai masalah, kita bisa membangun masa depan yang lebih aman, lebih hijau, dan lebih adil.
Karena air bukan soal hujan yang turun, tapi bagaimana kita memperlakukannya.
0 Komentar
Artikel Terkait
