Opini

Peran IMO 2020 dalam Menekan Dampak Lingkungan akibat Aktivitas Perkapalan

Sulfur yang terkandung dalam bahan bakar kapal ternyata berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar pelabuhan.

Syakila Muna Mualia8 Desember 2021

Hampir 90% barang di seluruh dunia didistribusikan menggunakan transportasi laut. Oleh karena itu transportasi laut sangat berperan penting dalam menggerakkan ekonomi dunia. Bahkan, transportasi laut memiliki peran yang strategis dalam menjaga aliran logistik nasional.

Pada 2017, jumlah kapal dagang di seluruh dunia mencapai 52.183 unit dan terus bertambah. Awalnya, kapal digerakkan menggunakan tenaga uap atau angin. Namun, seiring berjalannya waktu kapal mulai menggunakan minyak bumi sebagai bahan bakar.

Jenis bahan bakarnya pun beragam tergantung jenis kapal yang digunakan. Sayangnya, pembakaran minyak bumi sebagai penggerak memberikan dampak buruk bagi lingkungan.

Kadar NOX di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ravi Rohmatulloh di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, selama tiga hari bersandar total emisi gas NOX yang dihasilkan kapal mencapai 2987.58 Kg, total emisi gas CO 12459.60 Kg, dan total emisi gas SOX 2597.89 Kg. Hal tersebut membuktikan adanya campur tangan aktivitas perkapalan terhadap penurunan kualitas udara di sekitar Pelabuhan.

Organisasi maritim dunia (IMO) menetapkan regulasi Maritime Pollution (MARPOL) Annex VI telah menentukan batas maksimal kadar NOX sebesar 12,51 g/Kwh. Singkatnya, kadar NOX dihitung dengan membagi jumlah emisi NOX yang dihasilkan dengan rata-rata daya yang digunakan.

Berdasarkan langkah perhitungan tersebut, selama tiga hari bersandar di pelabuhan kapal menghasilkan kadar NOX sebesar 61.09 g/Kwh. Kadar NOX tersebut melebihi batas yang ditentukan dan berpotensi menimbulkan pencemaran udara.

Kualitas Udara di Sekitar Pelabuhan

Di udara, Polutan tidak terdistribusi merata dan cenderung terkonsentrasi di wilayah tertentu. Contohnya kondisi udara di sekitar Pelabuhan Cirebon yang dikeluhkan masyarakat sekitar. Sebagai tindak lanjut, PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) memasang alat pemantau kualitas udara di sekitar pelabuhan. Alat ini akan menunjukkan warna-warna tertentu sebagai indikator pencemaran udara.

Dari alat tersebut, diketahui bahwa udara di sekitar pelabuhan mengandung beberapa senyawa berbahaya seperti SO2 (Sulfur Dioksida), CO (Karbon Monoksida), dan NO2 (Nitrogen Dioksida). Meski dengan kadar yang tidak terlalu tinggi, SO2 merupakan gas yang berbahaya bagi sistem pernapasan manusia. Karena dapat memicu iritasi pada selaput lendir hidung, tenggorokan, dan saluran udara di paru-paru.

Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, upaya pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat. Dengan adanya alat pemantauan kualitas udara, pemerintah dan stakeholder terkait dapat mempertimbangkan kebijakan untuk  meminimalisir pencemaran udara akibat aktivitas pelabuhan, khususnya bagi masyarakat sekitar.

Papan pemantau kualitas udara Pelabuhan Cirebon
Papan pemantau kualitas udara yang berada di Pelabuhan Cirebon (sumber gambar : racker.radarcirebon.com)

Peran International Maritime Organization (IMO)

Atas dasar permasalahan tersebut, International Maritime Organization (IMO) menetapkan kebijakan mengenai penggunaan bahan bakar kapal rendah sulfur atau dikenal dengan IMO 2020. IMO merupakan organisasi yang bertanggung jawab dalam bidang keselamatan dan keamanan pelayaran. Organisasi ini dibawah naungan PBB. Salah satu visinya adalah melakukan pencegahan dan pengendalian polusi kapal.

Dengan adanya kebijakan IMO 2020, batas maksimal kandungan sulfur pada bahan bakar kapal dikurangi menjadi 0.5 persen atau termasuk dalam kategori Low Sulfur Fuel Oil (LSFO). Sebelumnya, regulasi terkait penurunan kadar sulfur dalam bahan bakar kapal telah dilakukan. Awalnya, pada 2005 ditetapkan kadar maksimum sulfur sebesar 4.5 persen.

Hal tersebut terbukti dapat mengurangi emisi Sulfur Dioksida di sekitar Pelabuhan. Oleh karena itu, terus dilakukan penurunan kadar sulfur secara bertahap hingga saat ini. Bahkan, pada wilayah-wilayah tertentu, seperti perairan Amerika dan Kanada, kadar sulfur maksimal mencapai 0.1 persen.

Grafik penurunan kadar sulfur pada bahan bakar kapal
Grafik penurunan kadar sulfur pada bahan bakar kapal dalam beberapa tahun (sumber gambar : imo.org)

Namun, penggunaan LSFO perlu dipertimbangkan bagi kapal yang didesain memakai bahan bakar tinggi sulfur atau High Sulfur Fuel Oil (HSFO). Sulfur yang terkandung dalam bahan bakar berperan untuk menjaga pelumasan mesin. Ketika kandungan sulfur pada bahan bakar rendah, viskositas (kekentalan) bahan bakar juga rendah.

Hal tersebut dapat mengganggu pelumasan pompa mesin. Oleh karena itu, diperlukan penanganan khusus agar mesin kapal dapat beroperasi dengan bahan bakar LSFO. Jika diperlukan, pihak pengelola kapal dapat melakukan penggantian pompa agar kompatibel bahan bakar rendah sulfur.

Namun, hal tersebut memerlukan anggaran lebih. Alternatif yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan Scrubber Retrofit atau alat tambahan untuk mengurangi kadar sulfur pada residu pembakaran bahan bakar.

Pengimplementasian IMO 2020 di Indonesia

Sebagai salah satu anggota IMO, Indonesia turut mengimplementasikan kebijakan IMO. Melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Perhubungan Laut No. 35 Tahun 2019, mulai 1 Januari 2020 seluruh kapal, baik kapal nasional maupun kapa l asing, yang melintasi perairan Indonesia wajib menggunakan bahan bakar dengan kadar sulfur maksimal 0.5 persen mass by mass (m/m).

Kapal nasional yang berlayar di perairan Indonesia mendapat keringanan masih diperkenankan menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur maksimal 3.5 persen m/m. Dengan catatan, pengelola kapal wajib melaporkan data pemakaian bahan bakarnya setiap tahun kepada Pemerintah melalui Dirjen Perhubungan Laut dan memasang Exhaust Gas Cleaning System (EGCS). EGCS merupakan peralatan tambahan sejenis Scrubber Retrofit untuk mengurangi kadar sulfur dalam gas buangan mesin kapal. Untuk menghentikan penggunaan HSFO, tidak sedikit pula kapal yang beralih menggunakan bahan bakar alternatif, seperti LNG dan Biofuel.

Dalam hal ini IMO tidak menetapkan sanksi tertentu bagi kapal yang melanggar kebijakan IMO 2020. Penyusunan strategi pengawasan serta jenis dan besaran sanksi diserahkan pada masing-masing negara. Namun, kapal harus memiliki Sertifikat International Air Pollution Prevention (IAPP) yang diterbitkan pemerintah negara. Sertifikat ini merupakan penanda bahwasanya kapal tersebut telah menggunakan bahan bakar LSFO.

Peran IMO 2020 terhadap Kesehatan Masyarakat

Penerapan IMO 2020 diperkirakan mampu menurunkan 77% gas Sulfur Dioksida di atmosfer. Di dunia kesehatan, Sulfur Dioksida merupakan penyebab penyakit pernapasan, seperti asma dan gangguan paru-paru.

Menurut studi yang dilakukan oleh IMO’s Maritime Environment Protection Committee (MEPC) di Finlandia, polusi udara yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar kapal diperkirakan dapat menambah 570.000 kasus kematian dini di seluruh dunia akibat kardiovaskular serta penyakit pernapasan.

Pengurangan emisi Sulfur Dioksida melalui pemberlakukan IMO 2020 dapat meningkatkan kesehatan masyarakat. Khususnya bagi masyarakat yang tinggal di sekitar pelabuhan. Serta meminimalisasi kemungkinan melonjaknya kasus kematian dini akibat polusi aktivitas pelayaran.

Peran Stakeholder Terkait dalam Perealisasian IMO 2020

Dalam mendukung kebijakan ini, PT Pertamina International Shipping (PIS) telah merilis floating storage di Cilacap untuk melayani pengisian bahan bakar rendah sulfur (LSFO). Hal ini salah satu bentuk keseriusan pemerintah dan stakeholder terkait dalam mengimplementasikan IMO 2020 di Indonesia. Floating storage ini memiliki kapasitas 10.000 kiloliter, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bahan bakar kapal LSFO untuk kapal-kapal di sekitar Cilacap.

Selain di Cilacap, pengisian bahan bakar kapal LSFO juga dapat dilakukan di Tanjung Priok, Tuban, dan Balikpapan. Menurut Direktur Operasional PIS, Arief Kurnia Risdianto, dengan adanya floating storage LSFO di Cilacap, kapal yang melintas di perairan selatan jawa lebih mudah untuk mengisi bahan bakar.

Sayangnya, saat ini harga bahan bakar LSFO masih lebih mahal jika dibandingkan dengan harga bahan bakar HSFO. Selain itu, banyak pihak pelayaran yang meragukan ketersediaan LSFO. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya biaya operasional kapal.

Menurut Senior Consultant di Supply Chain Indonesia (SCI), kenaikan biaya operasional akibat pemberlakuan IMO 2020 mencapai 10—20 persen. Beberapa perusahaan pengiriman peti kemas juga sudah memberlakukan kenaikan tarif. Hal tersebut tentu berpengaruh pada kenaikan biaya logistic nasional.

Kapal yang sedang melakukan pengisian bahan bakar di floating storange Cilacap
Kapal yang sedang melakukan pengisian bahan bakar di floating storange Cilacap (sumber gambar : pertamina.com)

Dengan demikian, diperlukan waktu bagi pihak pengelola kapal dan pemerintah dalam melaksanakan IMO 2020. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan pembahasan lebih lanjut mengenai perealisasian regulasi tersebut, khususnya aturan harga LSFO. Selain itu, pemerintah juga perlu membuat kebijakan terkait tarif pengiriman bagi kapal-kapal dengan bahan bakar rendah sulfur.

Tingginya harga bahan bakar dapat mempengaruhi biaya operasional kapal dan tarif pengiriman. Sebagai negara kepulauan, pengaturan tarif kapal penting untuk kelancaran distribusi logistik dan mencegah terjadinya ketimpangan harga di wilayah Indonesia.

Selain itu, IMO 2020 terbukti berdampak baik pada lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar pelabuhan. Perlu ada tindakan sanksi tegas bagi kapal yang tidak mematuhi regulasi. IMO 2002 juga diperkirakan menjadi tahap awal evolusi pelayaran dunia yang ramah lingkungan.

Share:

0 Komentar