Aksesibilitas website bukan hanya masalah etika atau best practice dalam desain web, tetapi juga semakin menjadi persyaratan hukum di banyak negara, termasuk di Indonesia. Kegagalan untuk menyediakan website yang aksesibel dapat mengakibatkan tuntutan hukum, denda, dan kerusakan reputasi yang signifikan bagi perusahaan atau organisasi.
Legalitas Aksesibilitas Website di Indonesia
Dasar hukum terkait aksesibilitas bagi penyandang disabilitas diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Meskipun tidak secara spesifik menyebutkan "aksesibilitas website", semangat dan tujuan dari undang-undang ini mencakup aksesibilitas dalam bentuk informasi dan layanan publik.
-
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas:
-
Undang-undang ini adalah payung hukum utama yang bertujuan untuk menjamin hak-hak penyandang disabilitas. Salah satu hak yang dijamin adalah hak untuk mendapatkan aksesibilitas di berbagai sektor, termasuk informasi, komunikasi, dan pelayanan publik.
-
Pasal-pasal dalam UU ini menekankan pentingnya aksesibilitas untuk mewujudkan kesetaraan bagi penyandang disabilitas.
-
-
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas Terhadap Permukiman, Pelayanan Publik, dan Pelindungan dari Bencana Bagi Penyandang Disabilitas:
-
PP ini merupakan turunan dari UU No. 8 Tahun 2016. Meskipun lebih banyak berfokus pada aksesibilitas fisik (bangunan, transportasi), konsep pelayanan publik yang diatur di dalamnya secara implisit mencakup pelayanan digital, termasuk website dan aplikasi yang digunakan untuk mengakses layanan tersebut.
-
Tujuannya adalah mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas dalam akses terhadap pelayanan publik.
-
-
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2019 tentang Fasilitasi Akses Terhadap Ciptaan Bagi Penyandang Disabilitas dalam Membaca dan Menggunakan Huruf Braille, Buku Audio, dan Sarana Lainnya:
-
PP ini terkait dengan Hak Cipta, namun relevan dalam konteks penyediaan konten dalam format yang dapat diakses, yang dapat mencakup konten digital di website.
-
Meskipun belum ada undang-undang spesifik di Indonesia yang secara eksplisit menyatakan "WCAG 2.1 Level AA wajib untuk semua website swasta dan pemerintah" dengan sanksi denda yang terperinci, tren global dan semangat hukum yang ada menunjukkan bahwa website yang tidak aksesibel dapat dianggap sebagai bentuk diskriminasi.
Implikasi Hukum dan Potensi Denda (Global & Umum)
Di banyak negara maju, ketidakpatuhan aksesibilitas website telah menyebabkan tuntutan hukum yang signifikan dan denda besar. Meskipun konteks hukum berbeda, prinsip umumnya seringkali serupa: website yang menawarkan barang atau jasa kepada publik dianggap sebagai "tempat akomodasi publik" atau "fasilitas publik", dan oleh karena itu harus dapat diakses.
Beberapa undang-undang global yang relevan:
-
Amerika Serikat: Americans with Disabilities Act (ADA): Meskipun ADA awalnya dirancang untuk aksesibilitas fisik, pengadilan di AS semakin sering menafsirkan Title III ADA (yang mencakup akomodasi publik) untuk berlaku pada website pribadi. Ini telah memicu ribuan tuntutan hukum terhadap bisnis yang website-nya tidak dapat diakses.
-
Contoh Kasus: Kasus populer seperti Domino's Pizza, Nike, dan banyak lainnya menunjukkan bahwa perusahaan dapat digugat jika website mereka tidak dapat diakses. Denda bisa mencapai puluhan ribu hingga jutaan dolar per kasus, di luar biaya litigasi dan perbaikan.
-
-
Uni Eropa: European Accessibility Act (EAA): Mulai berlaku secara penuh pada tahun 2025, EAA mengharuskan produk dan layanan digital tertentu (termasuk e-commerce, layanan perbankan, transportasi, dan e-book) untuk memenuhi standar aksesibilitas, seringkali mengacu pada WCAG 2.1 Level AA.
-
Sanksi: Negara anggota Uni Eropa harus menetapkan sanksi yang "efektif, proporsional, dan dissuasive" (mencegah) untuk pelanggaran EAA.
-
-
Kanada: Accessibility for Ontarians with Disabilities Act (AODA): Mengharuskan organisasi di Ontario untuk membuat website mereka aksesibel.
-
Australia: Disability Discrimination Act (DDA): Mirip dengan ADA, telah digunakan untuk menuntut organisasi atas website yang tidak dapat diakses.
Jenis Hukuman dan Konsekuensi Lainnya:
-
Tuntutan Hukum dan Biaya Litigasi: Ini adalah konsekuensi paling langsung. Proses hukum bisa sangat mahal, bahkan jika perusahaan pada akhirnya menang.
-
Ganti Rugi dan Denda: Pengadilan dapat memerintahkan pembayaran ganti rugi kepada penggugat dan/atau menetapkan denda yang signifikan.
-
Kerusakan Reputasi: Berita tentang tuntutan hukum aksesibilitas dapat merusak citra brand dan mengurangi kepercayaan pelanggan. Ini bisa lebih merugikan daripada denda finansial.
-
Kehilangan Potensi Pelanggan: Dengan tidak menyediakan website yang aksesibel, Anda secara efektif mengabaikan segmen pasar yang besar (penyandang disabilitas dan keluarga/teman mereka), yang memiliki daya beli signifikan.
-
Perintah Perbaikan: Pengadilan dapat memerintahkan perusahaan untuk segera memperbaiki website mereka agar sesuai dengan standar aksesibilitas, yang bisa memakan waktu dan biaya.
Mengapa Kepatuhan Penting?
Meskipun di Indonesia penegakan hukum spesifik terhadap aksesibilitas website mungkin belum seaktif di negara lain, ada beberapa alasan kuat mengapa Anda harus memprioritaskan hal ini:
-
Kepatuhan Terhadap Spirit Hukum: UU Penyandang Disabilitas dan PP turunannya dengan jelas mendorong kesetaraan akses. Website yang tidak aksesibel bisa dianggap melanggar semangat hukum ini.
-
Etika dan Tanggung Jawab Sosial: Ini adalah hal yang benar untuk dilakukan. Membangun website yang inklusif menunjukkan komitmen terhadap keberagaman dan keadilan sosial.
-
Pencegahan Risiko Hukum di Masa Depan: Seiring dengan meningkatnya kesadaran dan regulasi, risiko tuntutan hukum di Indonesia bisa meningkat. Lebih baik proaktif daripada reaktif.
-
Memperluas Jangkauan Pasar: Penyandang disabilitas adalah segmen populasi yang besar. Dengan website yang aksesibel, Anda dapat menjangkau audiens yang lebih luas dan meningkatkan potensi bisnis.
-
Peningkatan SEO: Banyak praktik terbaik aksesibilitas (misalnya, Alt Text, struktur heading yang baik, navigasi yang jelas) juga merupakan praktik SEO yang baik.
Meskipun lanskap hukum aksesibilitas website masih berkembang di beberapa yurisdiksi seperti Indonesia, tren global sangat jelas: aksesibilitas bukan lagi pilihan, tetapi keharusan. Mengabaikan aksesibilitas website dapat membawa konsekuensi hukum, finansial, dan reputasi yang serius. Mengadopsi standar seperti WCAG 2.1 Level AA adalah investasi cerdas yang tidak hanya melindungi Anda dari risiko, tetapi juga membuka peluang pasar baru dan menunjukkan komitmen terhadap inklusi.
0 Komentar
Artikel Terkait



